Jilbab Selebar Taplak (katanya)

23.38

Tatapan itu telah berbeda, tiada rasa tiada arti. Entah apa yang sebenarnya terjadi, aku juga tak tahu.
Kernyitan dahi turut mewarnai raut wajahnya. Sayup-sayup ku dengar kata merobek hati. Air mataku telah bercucuran. Mengalir tanpa tahu di mana akhir ia bermuara. Pertemuan singkat itu berakhir dengan pilu. Sahabat karibku kini telah jauh pergi meninggalkanku.  Tanpa sebait kata dia pergi, diam, dan menghilang.

Senyumku telah hilang,  semangatku telah sirna. Orang tua yang selalu aku harapkan kedatangannya, kini telah berbalik menjadi pembunuh semangat. Semangat untuk berubah, semangat untuk berhijrah kini telah mati. Setiap malam ayah meneleponku, beliau selalu mengatakan “Jangan hanya karena jilbab kamu rela kehilangan sahabatmu”. Kembali aku teringat, entah sudah berapa teman yang pergi meninggalkanku.

“Kratakktakktakk..”, suara pagar  yang berkarat terbuka. Seperti biasa aku berangkat sekolah sekitar pukul 6 pagi. Kulihat seorang perempuan tampak membuka gerbang, kosnya berjarak 5 rumah dari kostku .  Aku membalikkan badan dan segera berjalan . T erdengar dari kejauhan teriakan anak perempuan, “Nadiaaa…”.  Refleks, aku menoleh. Aku terkejut, benar saja sahabat yang selama ini pergi menjauhiku kembali menyapa, memanggil namaku. Bahagia bukan kepalang. Dia lari menghampiriku. Ku lihat dia hampir terjatuh karena tersandung batu. Dengan seketika dia memelukku.
“Ayoo berangkat bareng..” Ungkapnya.
Speechless. Jantungku berdegup kencang, tanganku mulai basah dan gemetar. Kupandangi dia tanpa mengucapkan satu katapun. “Yaa Allah.. Apakah ini jawaban-Mu??”, Kataku dalam hati.
Berkhusnudzon itu caraku, semoga memang ini yang terbaik dari Allah untukku.

Gerbang sekolah telah terbuka lebar, terlihat dari jauh pak Harbud sedang berdiri di depan sekolah. Beliau adalah guru Pendidikan Kewarganegaraan.  Kebiasaan beliau yang patut di contoh, beliau selalu berangkat pukul 5 pagi dari rumah. Beliau mengayuh sepeda onthel ke sekolah yang berjarak hampi 10km setiap harinya. Tampak terlihat tubuhnya bugar walaupun usia beliau sudah kepala 5.
Ku ucapkan salam kepada beliau “ Assalamu’alaikum pakk.. ”.
“Waa’laikumussalam warahmatullah, tetap semangat ya..  ”, jawab Beliau.
“Siapp pakk, kita kan semangat terus sampai sore” sahut Aisyah.
“Lohh, udah baikan to..”, tanya Pak Harbud.
“Sudah dong pak..”, jawab Aisyah sumringah.

Bibir mulai bergerak, senyum mulia terpasang di wajahku. 
“Aku duluan nad.. ” ujar Aisyah.
Aku masih tidak percaya, apakah ini nyata, atau ilusi saja. Sesampainya di kelas, teman-teman tampak gaduh biasa pagi-pagi mereka sibuk mengerjakan tugas yang belum terselesaikan.


Guru telah datang dan pelajaran akan segera di mulai. Pagi ini adalah giliranku untuk presentasi. Aku mengambil materi tentang Kewajiban Muslimah untuk Berhijab. Kelas mulai tampak sunyi, aku maju dengan membawa laptop dan buku catatan kecil. Ku mulai presentasiku dengan foto-foto muslimah berhijab. “Wuiihh cantik ya walaupun pake jilbab” ungkap salah seorang teman.
“Cantik apaan? Taplak aja di pake jadi jilbab, besok gorden kali ya.. ” cela seorang teman lainnya.
Aku menghela nafas panjang sambil melanjutkan presentasiku.  

Jilbab itu kewajiban bukan pilihan sahabat. Allah telah menyuruh kita untuk berjilbab. Dan itu wajib tidak ada tawar menawar. Allah sudah menjelaskan dalam Al-Qur’an.

Hai nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu, dan istri-istri orang muslim. Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnyakeseluruh tubuh mereka, yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha pengampun lagi Maha Penyayang.
[Qs. Al Ahzab : 59 ]
Masihkah kita menolak perintah itu. Allah yang menyuruh kita, bukan ustadz maupun ustadzah.  Niatkan semua karena Allah, kalian berjilbab karena Allah dan untuk Allah. “Sesungguhnya sebaik-baiknya perhiasan di dunia ini adalah perempuan”.

Perjuanganku berjilbab jangan dikira tanpa halangan dan pengorbanan. Awal aku berjilbab saja sudah banyak  yang menentang. Ayah adalah sesorang yang paling menentangku untuk berjilbab. Lain halnya dengan ibu, cara beliau lebih halus. Entah sudah berapa jilbab yang beliau sembunyikan. Dan semua jilbab itu adalah jilbab baru yang di berikan beberapa akhwat Remais (Remaja Masjid Islam) Malang, Jawa Timur. Sungguh ironi memang, orang tua yang seharusnya pro dengan anaknya, kini malah menjadi kontra.

Hampir seluruh kajian kemuslimahan di kota Malang aku ikuti. Setiap ada event keislamanpun aku datangi. Sedikit demi sedikit aku sudah merubah diri, dari yang awalnya berjilbab ala kadarnya berubah menjadi jilbab ala lebarnya. Jelas saja beberapa teman mencomoh, seperti ibu-ibu lah, seperti  ibu hamillah. Pada awalnya mungkin itu menjadi salah satu hal yang membuat semangatku kendor, mematahkan harapan. Dengan berjalannya waktu, aku sudah terbiasa dengan perkataan seperti itu. Sampai akhirnya mereka bisa menerimaku dengan jilbab  yang selebar taplak.

Keluar dari club volley sekolah juga menjadi salah satu keputusanku. Club tidak bisa menerima atlit volley berjilbab, itu yang mereka katakan. Itu bukan masalah besar untukku, toh setelah aku keluar dari club aku masih sering di undang untuk mengikuti turnamen volley  pelajar daerah. Dan jelas saja, teriakan penonton masih sama seperti dulu. Ramai dan heboh ketika aku berhasil mensmash bola dengan tepat. Seru memang. Tetapi keseruan itulah yang harus aku tinggalkan.

Tahun pertama berjilbab menjadi tahun yang sangat dramatis. Hati sudah terlanjur luka, air mata terlanjur mengalir, tangan telah terlanjur merasakan mati rasa. Hampir setiap malam aku menangis, kenapa Allah tidak mempermudahkan aku? Padahal aku berjalan di jalan yang Allah perintahkan. Kembali lagi aku teringat pesan dari murobbi ketika liqa. Bisa jadi niat yang bengkok harus di luruskan, bisa jadi Allah masih rindu dengan tangisanmu karena kamu terlalu sibuk dengan duniamu.

Satu tahun, dua tahun, sudah ku lalui. Permasalahan berjilbab sudah banyak berubah. Aku kini telah menjadi seorang mahasiswa, dengan kegiatan keorganisasian yang seabrek. Tugas kuliah yang menumpuk. Beberapa desain yang hampir mendekati dateline turut menambah tugas-tugasku. Tapi tetap  saja seorang mahasiswa yang belum mendapat ridho dari orang tua menjadi status lama yang belum berubah.

Hari yang di tunggu kini telah datang, ayah membelikanku sebuah rok berbahan jeans. Sangat cantik dan terlihat sporty.
Kalo di belikan di pake ya nduk..” kata ayah.
Diam, dan hanya bisa diam. Subhanallah, di malam takbir Hari Raya Idul Fitri 1435 aku mendapat kado dari Allah SWT. Kado yang benar-benar sudah kutunggu selama 3 tahun ini. Ridho orang tua adalah ridho Allah. Itu yang selalu aku ingat. Betapa indahnya berjalan di jalan dakwah. Dengan berkumpul bersama para mujahid mujahidah pribumi aku bisa memperjuangkan islam. Mungkin bukan seperti yang di lakukan Rasulullah dengan berperang, tetapi mengajak teman-teman untuk berjilbab dan berhijrah itu caraku.

“Walaupun jilbabku selebar taplak, aktifitasku tak pernah terhambat. Ketika aku melakukan kesalahan jangan pernah menyalahkan jilbabku salahkan perbuatanku.”

You Might Also Like

0 komentar