Tatapan itu telah berbeda, tiada rasa tiada arti.
Entah apa yang sebenarnya terjadi, aku juga tak tahu.
Kernyitan dahi turut mewarnai raut wajahnya.
Sayup-sayup ku dengar kata merobek hati. Air mataku telah bercucuran. Mengalir tanpa
tahu di mana akhir ia bermuara. Pertemuan singkat itu berakhir dengan pilu.
Sahabat karibku kini telah jauh pergi meninggalkanku. Tanpa sebait kata dia pergi, diam, dan
menghilang.
Senyumku telah hilang, semangatku
telah sirna. Orang tua yang selalu aku harapkan kedatangannya, kini telah
berbalik menjadi pembunuh semangat. Semangat untuk berubah, semangat untuk
berhijrah kini telah mati. Setiap malam ayah meneleponku, beliau selalu mengatakan
“Jangan hanya karena jilbab kamu rela kehilangan sahabatmu”. Kembali aku
teringat, entah sudah berapa teman yang pergi meninggalkanku.
“Kratakktakktakk..”, suara pagar
yang berkarat terbuka. Seperti biasa aku berangkat sekolah sekitar pukul
6 pagi. Kulihat seorang perempuan tampak membuka gerbang, kosnya berjarak 5
rumah dari kostku . Aku membalikkan
badan dan segera berjalan . T erdengar dari kejauhan teriakan anak perempuan, “Nadiaaa…”.
Refleks, aku menoleh. Aku terkejut,
benar saja sahabat yang selama ini pergi menjauhiku kembali menyapa, memanggil
namaku. Bahagia bukan kepalang. Dia lari menghampiriku. Ku lihat dia hampir
terjatuh karena tersandung batu. Dengan seketika dia memelukku.
“Ayoo berangkat bareng..” Ungkapnya.
Speechless. Jantungku berdegup kencang, tanganku mulai basah dan gemetar. Kupandangi
dia tanpa mengucapkan satu katapun. “Yaa Allah.. Apakah ini jawaban-Mu??”,
Kataku dalam hati.
Berkhusnudzon itu caraku, semoga memang ini yang terbaik dari Allah
untukku.
Gerbang sekolah telah terbuka lebar, terlihat dari jauh pak Harbud sedang
berdiri di depan sekolah. Beliau adalah guru Pendidikan Kewarganegaraan. Kebiasaan beliau yang patut di contoh, beliau
selalu berangkat pukul 5 pagi dari rumah. Beliau mengayuh sepeda onthel ke sekolah yang berjarak hampi
10km setiap harinya. Tampak terlihat
tubuhnya bugar walaupun usia beliau sudah kepala 5.
Ku ucapkan salam kepada beliau “ Assalamu’alaikum pakk.. ”.
“Waa’laikumussalam
warahmatullah, tetap semangat ya.. ”,
jawab Beliau.
“Siapp pakk, kita kan semangat terus sampai sore” sahut Aisyah.
“Lohh, udah baikan to..”, tanya Pak Harbud.
“Sudah dong pak..”, jawab Aisyah sumringah.
Bibir mulai bergerak, senyum mulia terpasang di wajahku.
“Aku duluan nad.. ” ujar Aisyah.
Aku masih tidak percaya, apakah ini nyata, atau ilusi saja. Sesampainya
di kelas, teman-teman tampak gaduh biasa pagi-pagi mereka sibuk mengerjakan
tugas yang belum terselesaikan.
Guru telah datang dan pelajaran akan segera di mulai. Pagi ini adalah
giliranku untuk presentasi. Aku mengambil materi tentang Kewajiban Muslimah
untuk Berhijab. Kelas mulai tampak sunyi, aku maju dengan membawa laptop dan
buku catatan kecil. Ku mulai presentasiku dengan foto-foto muslimah berhijab.
“Wuiihh cantik ya walaupun pake jilbab” ungkap salah seorang teman.
“Cantik apaan? Taplak aja di pake jadi jilbab, besok gorden kali ya.. ”
cela seorang teman lainnya.
Aku menghela nafas panjang sambil melanjutkan presentasiku.
Jilbab itu kewajiban bukan
pilihan sahabat. Allah telah menyuruh kita untuk berjilbab. Dan itu wajib tidak
ada tawar menawar. Allah sudah menjelaskan dalam Al-Qur’an.
“Hai nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu,
dan istri-istri orang muslim. Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnyakeseluruh
tubuh mereka, yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena
itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha pengampun lagi Maha Penyayang.
[Qs.
Al Ahzab : 59 ]”
Masihkah kita menolak
perintah itu. Allah yang menyuruh kita, bukan ustadz maupun ustadzah. Niatkan semua karena Allah, kalian berjilbab
karena Allah dan untuk Allah. “Sesungguhnya sebaik-baiknya perhiasan di dunia
ini adalah perempuan”.
Perjuanganku berjilbab jangan dikira tanpa halangan dan
pengorbanan. Awal aku berjilbab saja sudah banyak yang menentang. Ayah adalah sesorang yang
paling menentangku untuk berjilbab. Lain halnya dengan ibu, cara beliau lebih
halus. Entah sudah berapa jilbab yang beliau sembunyikan. Dan semua jilbab itu
adalah jilbab baru yang di berikan beberapa akhwat Remais (Remaja Masjid Islam)
Malang, Jawa Timur. Sungguh ironi memang, orang tua yang seharusnya pro dengan
anaknya, kini malah menjadi kontra.
Hampir seluruh kajian kemuslimahan di kota Malang aku ikuti.
Setiap ada event keislamanpun aku datangi. Sedikit demi sedikit aku sudah
merubah diri, dari yang awalnya berjilbab ala kadarnya berubah menjadi jilbab
ala lebarnya. Jelas saja beberapa teman mencomoh, seperti ibu-ibu lah,
seperti ibu hamillah. Pada awalnya
mungkin itu menjadi salah satu hal yang membuat semangatku kendor, mematahkan
harapan. Dengan berjalannya waktu, aku sudah terbiasa dengan perkataan seperti
itu. Sampai akhirnya mereka bisa menerimaku dengan jilbab yang selebar taplak.
Keluar dari club volley sekolah juga menjadi salah satu
keputusanku. Club tidak bisa menerima atlit volley berjilbab, itu yang mereka
katakan. Itu bukan masalah besar untukku, toh setelah aku keluar dari club aku
masih sering di undang untuk mengikuti turnamen volley pelajar daerah. Dan jelas saja, teriakan
penonton masih sama seperti dulu. Ramai dan heboh ketika aku berhasil mensmash bola dengan tepat. Seru memang.
Tetapi keseruan itulah yang harus aku tinggalkan.
Tahun pertama berjilbab menjadi tahun yang sangat dramatis.
Hati sudah terlanjur luka, air mata terlanjur mengalir, tangan telah terlanjur
merasakan mati rasa. Hampir setiap malam aku menangis, kenapa Allah tidak
mempermudahkan aku? Padahal aku berjalan di jalan yang Allah perintahkan.
Kembali lagi aku teringat pesan dari murobbi
ketika liqa. Bisa jadi niat yang
bengkok harus di luruskan, bisa jadi Allah masih rindu dengan tangisanmu karena
kamu terlalu sibuk dengan duniamu.
Satu tahun, dua tahun, sudah ku lalui. Permasalahan
berjilbab sudah banyak berubah. Aku kini telah menjadi seorang mahasiswa,
dengan kegiatan keorganisasian yang seabrek. Tugas kuliah yang menumpuk.
Beberapa desain yang hampir mendekati dateline turut menambah tugas-tugasku.
Tapi tetap saja seorang mahasiswa yang
belum mendapat ridho dari orang tua menjadi status lama yang belum berubah.
Hari yang di tunggu kini telah datang, ayah membelikanku
sebuah rok berbahan jeans. Sangat
cantik dan terlihat sporty.
“Kalo di belikan di pake ya nduk..” kata ayah.
Diam, dan hanya bisa diam. Subhanallah, di malam takbir Hari
Raya Idul Fitri 1435 aku mendapat kado dari Allah SWT. Kado yang benar-benar sudah
kutunggu selama 3 tahun ini. Ridho orang tua adalah ridho Allah. Itu yang
selalu aku ingat. Betapa indahnya berjalan di jalan dakwah. Dengan berkumpul
bersama para mujahid mujahidah pribumi aku bisa memperjuangkan islam. Mungkin
bukan seperti yang di lakukan Rasulullah dengan berperang, tetapi mengajak
teman-teman untuk berjilbab dan berhijrah itu caraku.
“Walaupun jilbabku selebar taplak, aktifitasku tak pernah
terhambat. Ketika aku melakukan kesalahan jangan pernah menyalahkan jilbabku
salahkan perbuatanku.”